Powered By Blogger

Sabtu, 06 Agustus 2011

Cobain Deh Becak Motor di Medan









Kalau Jakarta zaman dulu ada kendaraan roda tiga yang namanya helicak. Namanya begitu katanya singkatan dari helikopter dan becak. Bentuknya memang mirip helikopter, tapi enggak bisa terbang. Cuma bisa didarat dan dengan tenaga motor. Di Sumetera Utara umumnya dan Medan khususnya, ada betor atau becak motor. Serombongan anak sekolah bahkan menjadikan betor antar-jemput mereka dari dan ke sekolah.
Selintas, bentuk becak motor mirip-mirip motor Harley Davidson. Ada motor roda dua sebagai penggerak utama, dan tambahan untuk penumpang (semacam sespan, yang menempel di samping kiri motor) dengan tambahan satu roda lagi. Jadi, becak motor pun beroda tiga. Selain betor atau becak motor, ada lagi ‘saudaranya’, yaitu becak dayung atau becak kayuh. Becak kayuh bentuknya sama-sama roda tiga, hanya tenaganya memakai tenaga genjotan manusia. Bedanya dengan becak-becak biasa di Jawa, becak kayuh Sumatera Utara ini penumpangnya tidak di depan tempat duduknya, tetapi di samping, sama seperti pada becak motor. Kendaraan becak kayuh bisa dibilang model angkutan yang ramah lingkungan, karena tidak menimbulkan polusi udara. Becak motor disebut juga becak bensin. Ada-ada saja ya, sebutannya!
Suatu sore saya sengaja berkeliling sebentar mengelilingi jalan-jalan kota Medan dengan betor yang dikemudikan Bang Ulil. Si Abang ini lincah sekali berkelit di antara mobil-mobil yang lalu lalang di jalan. Sampai-sampai penumpangnya harus menahan napas ketika betor yang dibawa Bang Ulil berhadapan dengan angkutan umum yang juga tak kalah lincah. Sudah setahun Bang Ulil menarik betor. Sebelumnya ia bekerja di Malaysia sebagai TKI. Lelaki asli Medan ini sehari ia harus setor pada pemilik betor sejumlah 25.000 Rupiah. Bensin yang ia apakai selama menarik sekitar 20.000 Rupiah. Sisa pembelian bensin dan makan ia bisa bawa pulang sebagai penghasilan satu hari. Tarif betor bervariasi, tergantung hasil negoisasi antara pengemudi betor dan calon penumpangnya. Untuk jarak sekitar lima sampai 10 meter sekali jalan berkisar 5.000 Rupiah hingga 10.000 Rupiah. Jarak jauh bisa mencapai 25 ribu Rupiah.
Tidak cuma sekali itu saya naik betor selama di Medan. Mumpung di Medan, saya pun naik betor yang dikemudikan Pak Nurlah ke tempat penangkaran buaya di Asam Kumbang, Kecamatan Meda Selayang. Dibanding taksi, naik betor lebih murah. Lagipula kemarinnya saya naik taksi malah dikibulin sama Bang Supir. Saya pikir jaraknya jauh, mau aja digetok 50 ribu. Tak tahunya, jarak yang sama dengan betor cuma delapan ribu rupiah saja.
Oh ya, betor termasuk angkutan umum yang fleksibel. Dia bisa mengantar penumpangnya kemana saja, sepanjang jalan yang dilaluinya bukan larangan untuk betor dan becak kayuh. Pak Nurlah baru sembilan bulan menarik betor di usianya yang tidak muda lagi, sekitar 50-an tahun. Pria separuh baya asal Minang ini bahkan sebelumnya lama tinggal di Jakarta, ikut membantu kerabatnya yang membuka Rumah Makan Padang di Pondok Gede. Sama seperti Bang Ulil, Pak Nurlah pun setor sehari 25.000 Rupiah kepada pemilik betor.
Yang lebih beruntung mungkin Pak Sihombing. Lelaki tua yang mengaku berumur lebih dari 60 tahun ini sudah 40 tahun menjadi penarik betor. Kendaraan yang sekarang dipakainya ini adalah miliknya pribadi, sehingga ia tidak merasa dikejar-kejar setoran. Sehari-hari Pak Sihombing mangkal di depan hotel Danau Toba, Medan. Dia menarik betor sejak usia belasan tahun, sehingga sudah hapal seluk-beluk jalan-jalan di kota Medan.
Namun disayangkan, beberapa tukang betor yang ugal-ugalan membuat beberapa pihak tidak simpatik terhadap keberadaan betor. Mereka dianggap pengganggu kelancaran lalu lintas. Padahal banyak kaum ibu dan anak-anak yang menggunakannya. Entah ke pasar, toserba, atau sekolah. Banyak murid TK dan SD dalam rombongan kecil menggunakan betor untuk ke sekolah atau pulang ke rumah mereka. Dalam satu betor bisa lima sampai enam murid SD atau TK.
Becak motor dan becak kayuh bagaimanapun sudah menambah ciri khas kota Medan khususnya, dan Sumatera utara umumnya. Seperti halnya delman sebagai ciri khas kendaraan tradisional di Jawa yang makin lama makin berkurang jumlahnya karena terlindas kemajuan zaman. Uniknya, ada beberapa becak motor atau kayuh di Medan yang bagian belakangnya tertulis “Becak Motor Wisata”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini